Sungai

On Jumat, 15 Oktober 2010 0 komentar














Padamu sungai
akan dimana muara
bersemi menyalami
setiap mimpi
disepinya hari
menghilir luruh asrusmu
meng-abu dhabi

Lekas mata air
bersanjungan pernik kata
bening tarinya
merias indah
di cadar cakrawala

meninggi di eifel, menjulang
kokoh pada piramida
dan kembali aku lukis
biru sungaimu


By Afrilia Kelana Utami

Rindu Kandas

On Kamis, 14 Oktober 2010 0 komentar


Senja menjelaga jingga
camar lalu lalang
ketika kau dan aku berdendang
nyanyi surya, menyelam ke samudra

Sungguh belumlah puas
aku pada kau meremas
lunak hatimu kapas
tapi adalah gerimis,
tiba-tiba datang
hingga petang berpulang

Gelas Kosong

On Minggu, 10 Oktober 2010 2 komentar






Denting kaca menitah

Biaskan bayang mula kisah

Tentang diri merumpah ruah

Menggenang gelas segumpal darah


Lirih bayu memijah ruang

Sekat aku, diri, jiwa merambang

Bibir gelas mencandu berjuta kenang

Tentang separuh hati sayang menghilang


Semakin lirih perih menoreh

Semakin mengeping puing beling

Sudah luluh pecah meregang

Setiap ruang menyisa kosong


Tarian kami lemah menunjuk jemari

Deraikan airmata tangisi tiada isi

Sampai kapan kami mengaisngais hati?

Sedang kami sama kosongkan diri,

Ilahi


Ctt : by Nu dan Yazid Musyafa

Menakar makna lewat alam

On Kamis, 07 Oktober 2010 0 komentar

Menakar makna lewat alam

By :

Olan Sanseviera

Nu


Perjalanan hidup ini amat melelahkan bukan, dengan apa hendak aku ceritakan, jikalau seribu penyair seudah menjajah serta memperkosa alam dengan candu yang mereka miliki, dan itu sudah membuat nyali pena ini bukan hanya ciut tapi menggigil walau rupa puncak himalaya jauh dari mata, tapi adalah mual hati ini melebihi geramnya perut-perut gunung untuk muntahkan magmanya.

Ceritakanlah bagaimana gununggunung menitip magma pada seribu kalimat yang terukir dalam dinding ruang gigil para penyair. Sebab barangkali ada beberapa tandatanya yang terselip diantara peluh decak bibir penanya. Dari untaian garis yang rapi menyusun mekarnya kelopak hati, ada sungai yang terbentuk dari kalimat yang kau kirim sebagai penggugah rasa. Kita maknai maklumat waktu sebagai pengembaraan yang menggiring musim dihalaman yang datar. Agar angin yang mengelilingi haus rongga batin sertamerta pergi bersama kabut gelap yang mendiami pelataran sunyi. Dari sini mengalirlah warna pelangi yang diamnya begitu kita rindukan.

Terlalu banyak hendak di kisahkan tentang perjalanan ini kawan, sehingga lelah dan payah ini menjadi acuh dan jenuh menafsirkan semua tanda yang di beri alam, lantas izinkanlah aku menekur sejenak dalam belukar laku diri, bukan mengenang tapi mencoba menghitung rugi dan laba yang telah di tanggung badan, dan memang aku bukan penyair tapi penjudi, yang tak pernah bertaruh untuk sejengkal nafsu, tapi hanya nama yang di sematkan untuk hilangkan selendang angkuh itu yang tiada henti mengintai.

Menghitung berapa banyak lembar malam yang kau renangi, samudra mendekat mencurahkan renungan pada ikat malammu. Hamparan tasbih yang kau lontarkan pada langit mengisyaratkan betapa mesra bintangbintang simpuh pada belaian sungkur sujudmu. Kita memulai warna yang tertandai sebagai tonggak untuk memudarkan buramnya waktu yang mengelilingi peradaban. Ada hikmah melayari malam umpama sampan yang mengapung ditengah badai. Dan senyum adalah sebuah awal yang mesti di gapai. Senyum yang tercantum pada bibir ayah bunda yang mewakili keridhoanNya. Mari kita ikuti garis tepi cakrawala yang ufuknya adalah sampul buku sebuah tuntunan. Menuju keindahan yang hakiki.

Di hentian ini, lemah semakin patah memapah lidah untuk berkata-kata lagi, baiklah kawan, mari kita segel semua rasa pada Sang pemilik aksara, ikhlaskan hati, jernihkan fikir, agar semua musim, serta segala cuaca tak menjadi laknat, menyumpah kita di setiap hembusan nafas, selaksa doa aku tuturkan di hariban mahligai kalbu, harap satu, yakni selalu istiqomahkan hati ini dalam menyuluh api cinta padaNya.

Puisi Penawar Luka Waktu

On Selasa, 05 Oktober 2010 2 komentar


~ puisi penawar luka waktu ~

Oleh : Neogie Arur dan Arganita W.







izinkanlah pada pagi

mengurai kisah hati

tentang bungabunga runtuh

helai demi helainya luruh


tentang lembarlembar kasih

terukir di bukubuku jemari

tergenggam merah jantung

kuambil dari belah dadamu


maka lihatlah sejenak

tergeletak sudah semua

di mandikan sajaksajak

basah mengaliri telaga mata

tak kupalingkan muka

demi seratserat asmara

sembuhkan luka terdalam

terkoyak rindu mendendam


biarlah cabik lalu meruyak

lukaluka di waktu siang merajuk

bila waktu senja nanti

kau aku peluk dengan sebaris puisi




Lenggang Sunyi Kasidah Sepi

On 0 komentar






Lihatlah kerling langit yang lening, derit kata yang melunta.

Di sanalah, kau dan aku, bersahutan tanpa sentuhan dan perjumpaan.

Kita hanya hadir dalam gulir ingatan yang deras pada napas hujan dan hempas bayangan.

Lihatlah jua seringai bumi yang sunyi, detak waktu yang menjemu.

Di sanalah, kau dan aku bersenandung tanpa kidung dan tembang.


Kita bermula dalam kenangan yang melayangkan kicau burung dan tikaman lengang

Keberanianku ditelan kabut

Jauh tertinggal, lenguh sesal tersengal seperti temali ajal di leher kekal

Aku seperti telah kehilanganmu sebelum sempat menjumpaimu


Telah muram mimpi dalam kasidah sepi ketika wajah tengadah menerjemahkan lelah dan kalah.

Akan kulipat jarak serta kuarungi waktu untuk menyampaikan pesan kenari

Yang tak henti menari di setiap mimpi mimpi.


Aku seperti cermin buram yang pecah di detik jarum jam,

menusuk, meluka, terkapar hingga tafsirkan selaksa sunyi.


Aku menafsirmu dalam graffiti kehadiran yang gemetar di permukaan kenyataan.

Disana, kita mungkin mesti percaya sesuatu terpaksa kita lepas, terpaksa kita patahkan.


Namun bukankah kita telah demikian menubuh?

Ada banyak hal yang telah aku ucapkan.

Banyak hal pula yang telah ku anggap sebagai sebuah kekalahan.


Dan denting hening, lengang nan panjang telah memenjara semua kata.

Tak ada liukan, tak sisa lagi tikungan nan curam tempat menabur doa, jua semua musim

Bungkam hanya diam.

Ku lelah dalam payah, sunyi memartikan semua.

Jangan tanya.

Sunyi sudah.



Me and okky

[Prosa] Surat Pekan Ini (15) : Kabar Kesunyian

On 0 komentar


: Neogie Arur

Salam adikku,





Bergulung rindu kuhamparkan bersama sapa awalku padamu, "apa kabarmu selama ini?". Adakah gunung yang sedang kau huni saat ini benar-benar beri kesegaran yang bugarkan jiwa ragamu ? Semoga. Karena inilah doa dan harapan yang senantiasa kuusung untukmu, dik.

Dik Nu, bertanyalah dengan senyum terukir di bibir, duhai, gerangan apa hingga kau bisa menerima dan membaca surat dariku ? Adakah kabar terkini yang bisa kau terima selain lantunan bahasa rindu yang sekian lama madu dalam ingatan ?

"sebuah kerinduan senantiasa mengabadi meski bayang kita terang merapat di suatu jarak yang pendek nian."

Sebuah kenyataan hidup dari seberang ingin kubagi padamu, dik. Lebih tepatnya kisah kejujuran yang kuharap makin tunai jika disandingkan dengan perihal kembar yang juga mengembara di debar dadamu. Sedari awal, aku berkeyakinan teguh, bahwa perjumpaan denganmu dalam ranah maya ini adalah suatu takdir merpati. Kepakan sayapnya adalah keindahan. Meski ada keinginan pindah pada takdir elang yang lebih cadas, tak adalah kita terseret dalam pemenuhan perbandingan absurd. Merpati tentu saja tetap lambang perdamaian. Itu tak tergantikan.

Kita melangkah ke kisah sebenarnya, dik. Di ranah kehidupanku, yang namanya goncangan adalah irama statis yang mengalun tiada hentinya. Ta kmempedulikan waktu. Selalu cuek dengan penawaran hati. Ketika letih telah membungkus raga, jiwa harus tetap terjaga dalam hitungan yang tak berakhir. Hasrat menjemput mimpi di lembut peraduan harus ditunda demi punahnya apa-apa yang menjadi kewajiban esok. Ah, dik Nu, ingin bercengkrama dengan rembulan tapi yang terjadi aku malah disuruh pulang tuk sebisa mungkin menata ulang langkah kaki yang masih akan meloncati banyak kubangan pertanyaan hidup.

"Di batas manakah jawaban akan puaskan penasaran bagi sebuah kehilangan rasa pada fajar yang menyingsing ?"

Duhai, maafkan, aku tak bermaksud menggelapkannya dalam batas pengertianmu. Setenggelamnya senja di puncak gunung kediamanmu, kau akan meneguk ludah seraya mengaminkan bahwa ini terlalu mudah bagimu dalam menafsirkannya. Di sini dik, sunyi adalah nyanyian hari. Apalah arti pagi,siang, sore dan malam jika seberlalunya waktu-waktu itu aku harus tetap sendiri. Menatap hampa bayang diri adalah rutinitas yang meretas harapan baru tuk esoknya lagi aku masih harus lebih kencang berlari. Buah cita tak begitu saja tergantung pada pohon harapan. Kita harus lebih berpeluh dan banyak membuang keluh tuk bisa menggapai dan memetiknya. Selanjutnya kita nikmati bersama mimpi di musim semi.

"Di batas doa dan harapan yangpernah tertuang dalam lembar kehidupan, selalu ada membentang jembatan cobaanyang tentu saja sungguh tak mudah bagi kita menitinya"

Adikku Nu, semua pokok-pokok doa yang kurapal, semua akar-akar harapan yang kusirami belum lagi menemukan kenyataan yang mewartakan kegembiraan. Memang, tak ada setetes airmata tuk sebuah penawaran duka. Aku terlanjur membenci yang namanya elegi datang menghampiri. Aku mengembangkan kepongahan tuk rasa sakit yang bergilir menerpa. Aku asing, aku sunyi adalah sebuah wajah asli kehidupan yang tak mungkin kupungkiri, tapi mencari aku kalah, aku menyerah adalah sebuah kehancuran takdir di kubangan nasib anak manusia. Dengan kebanggaan yang penuh, kukabarkan padamu adikku, bahwa jauh di sini, di tempat ini, aku masih membusung dada, mengusung asa bahwa silahkan saja terus membadai segala sunyi, silahkan saja terus menganga semua luka, aku takkan meluruh meski itu diperlukan jua oleh kefanaan alam.

Kau adikku, Nu, padamu kukabarkan kesunyian ini bukan semata-mata tuk pindahkan keberadaan yang sama untukmu. Tapi lebih luas dan tinggi lagi maksud semua deretan kalimatku ini. Bosan, bisa jadi mulai menggerogoti nyalang matamu dan saatnya aku tiba pada sebuah akhir yang sekali lagi tak ragu tuk katakan betapa kau harus menjadi seorang pribadi yang lebih mahir lagi memainkan peran di atas pentas sandiwara kehidupan ini. Dengan semua kekayaan batin dan kekuatan raga yang kau miliki, kau harus mampu menahbiskan sebuah kemenangan di esokmu nanti. Teruslah memintal hening gunung tuk kau bawa dan ulirkan lagi di lembah kehidupan fana nan riuh. Semampunya aku di sini menaklukan sunyi, kuyakin sepenuhnya kaupun akan lebih mudah menekuk dan mematahkan aral di setiap jejak langkahmu.

Demikian dik, kabar kesunyian yang kuntai dalam kalimat sederhana untukmu. Seusai kau membaca ini, aku memetik keyakinan jika kau akan semakin menikmati berpetualang bebas di kesunyian. Kupinta, sudilah kau kabarkan kesunyianmu itu padaku. Kutunggu, dik !

Salam hangat dari ruang sunyi,


Arther Panther Olii

Gorontalo, 15082010

Kembang Timur Kembara

On 0 komentar


Kembang Timur Kembara

: NeogieArur





Padamu surya

Telah pinjamkan jagad

Di atas nama

Pelecut abjad-abjad


Naungi kelanaku

Bungaku mekar

Biak menebar kecup

Di ujung pagi


Bagi rindu yang damai

Di antara kerontang

Siang menjemput


Mengundang gundah malam

Siami mimpi


By ; Lina Senja Kelana

Tiga puisi pendek di hari minggu

On Minggu, 03 Oktober 2010 0 komentar


Kepada penyair Neogie Arur

By ; Husni Hamisi








Memo


Adakah yang kau temukan pada koran

hari ini selain abjad dingin berpilin hujan yang pandai

menyulap otak kita menjadi puntung-puntung rokok, sesudah saripati

tembakau kita di lahap habis, duhai kawan.


jika ada, beritahukanlah

aku ingin membelinya sejuta exlempar buat di olah menjadi lolypop di lidah

anak-anak hujan yang makin disesaki kosakata tabrak, tembak, dan tewas di pelor panas.


Biola Mata Hitam


KUKISAHKAN kembali

puisi yang kusampirkan di matamu hari itu

seorang anak sedang meggesek biola di sebuah makam

sembari mengiringi lagu " mother how are you to day".


Tak semua bulir hujan perlu kau salahkan

serupa kelindan hatiku saat menatap

irama bacin "smoke on the water"

tumpah di bola hitam matamu.


Di Liang Telinga

RIBUAN kata singgah disini, liang telingaku

tempat kau menitip kecupan, halte bis tua

untuk berteduh para penjaja koran bekas

orang sepertimu.



senjakala bila hati kita mulai memuai

sulur-sulur rindu, kau akan menemukan

aku disini, kata-kata yang memilih bermukim

di liang telingamu.



' Oktober 2010

Episode Maut I

On 0 komentar


*Kolaborasi Neogie Arur dan Arther Panther Olii









malam bertabur bunga

helai demi helai kamboja luruh,

sedangkan gagak mengintai rusuh

jasad mana terlelap mata


dosa tak lagi sembunyi muka

berjatuhan luruh dalam gulita,

sedangkan darah hanyalah hitam

jiwa mana menakar dendam


o, sayap-sayap resah

sampai kapan kau mengepak

sedang ajal di ujung tanah

merah tembaga meminta di takik


o, juntai-juntai kalut

bilakah tiba masa kau merajam

iringi napas sirna terenggut

bening takdir tak pinta salam


memejam mata di ujung subuh

mengecap peluh mengais teduh

meluruh batin kala mulut berseru ;


“inallilahi wa inailaihi roji’un”



Batusangkar-Gorontalo, 03102010.

sejak sajak tersangkut di nebula

On Sabtu, 02 Oktober 2010 0 komentar


sejak sajak tersangkut di nebula

: Olan Sanseviera




Apalah pangkal dari gagal hati, untuk mengeja bait demi bait yang di bisikkan oleh muasal alam sebelum cahaya bernama kheos, patah semakin berderak retak lidah ini seperti di cambuk oleh lintar zeus yang sempat hilang beberapa bayang silam, dan itulah ragu serupa arphodite yang mengigil di undakan altar kehilangan sayap untuk mengepak cinta, terbang ke sebalik cosmos, tempat panah-panah amor tersesat dalam rengkuhan nebula. Ah, inilah pangkal gagal untuk mengeja, bagaimana bisa membaca sedangkan busurnya tak bertemu anak panah, sajakku tersangkut di nebula !

Malam sakaratul

On 0 komentar


Malam sakaratul



malam telah tergelincir

menuju subuh menjelang takbir

aku menghitung uang

sementara di luar terdengar lolong anjing



berjingkat tengkuk naik tegak

bertanya-tanya siapakah tergeletak

mengerang payah, menarik nafas

dalam sakaratul berombak tiada putus


Izrail, sudah datangkah lagi Engkau

jika kau ada menatap aku

tolong beri siar kabar rahasia

di waktu mana lauh mahfudz menghapus nama


: Aku