[Prosa] Surat Pekan Ini (15) : Kabar Kesunyian

On Selasa, 05 Oktober 2010 0 komentar


: Neogie Arur

Salam adikku,





Bergulung rindu kuhamparkan bersama sapa awalku padamu, "apa kabarmu selama ini?". Adakah gunung yang sedang kau huni saat ini benar-benar beri kesegaran yang bugarkan jiwa ragamu ? Semoga. Karena inilah doa dan harapan yang senantiasa kuusung untukmu, dik.

Dik Nu, bertanyalah dengan senyum terukir di bibir, duhai, gerangan apa hingga kau bisa menerima dan membaca surat dariku ? Adakah kabar terkini yang bisa kau terima selain lantunan bahasa rindu yang sekian lama madu dalam ingatan ?

"sebuah kerinduan senantiasa mengabadi meski bayang kita terang merapat di suatu jarak yang pendek nian."

Sebuah kenyataan hidup dari seberang ingin kubagi padamu, dik. Lebih tepatnya kisah kejujuran yang kuharap makin tunai jika disandingkan dengan perihal kembar yang juga mengembara di debar dadamu. Sedari awal, aku berkeyakinan teguh, bahwa perjumpaan denganmu dalam ranah maya ini adalah suatu takdir merpati. Kepakan sayapnya adalah keindahan. Meski ada keinginan pindah pada takdir elang yang lebih cadas, tak adalah kita terseret dalam pemenuhan perbandingan absurd. Merpati tentu saja tetap lambang perdamaian. Itu tak tergantikan.

Kita melangkah ke kisah sebenarnya, dik. Di ranah kehidupanku, yang namanya goncangan adalah irama statis yang mengalun tiada hentinya. Ta kmempedulikan waktu. Selalu cuek dengan penawaran hati. Ketika letih telah membungkus raga, jiwa harus tetap terjaga dalam hitungan yang tak berakhir. Hasrat menjemput mimpi di lembut peraduan harus ditunda demi punahnya apa-apa yang menjadi kewajiban esok. Ah, dik Nu, ingin bercengkrama dengan rembulan tapi yang terjadi aku malah disuruh pulang tuk sebisa mungkin menata ulang langkah kaki yang masih akan meloncati banyak kubangan pertanyaan hidup.

"Di batas manakah jawaban akan puaskan penasaran bagi sebuah kehilangan rasa pada fajar yang menyingsing ?"

Duhai, maafkan, aku tak bermaksud menggelapkannya dalam batas pengertianmu. Setenggelamnya senja di puncak gunung kediamanmu, kau akan meneguk ludah seraya mengaminkan bahwa ini terlalu mudah bagimu dalam menafsirkannya. Di sini dik, sunyi adalah nyanyian hari. Apalah arti pagi,siang, sore dan malam jika seberlalunya waktu-waktu itu aku harus tetap sendiri. Menatap hampa bayang diri adalah rutinitas yang meretas harapan baru tuk esoknya lagi aku masih harus lebih kencang berlari. Buah cita tak begitu saja tergantung pada pohon harapan. Kita harus lebih berpeluh dan banyak membuang keluh tuk bisa menggapai dan memetiknya. Selanjutnya kita nikmati bersama mimpi di musim semi.

"Di batas doa dan harapan yangpernah tertuang dalam lembar kehidupan, selalu ada membentang jembatan cobaanyang tentu saja sungguh tak mudah bagi kita menitinya"

Adikku Nu, semua pokok-pokok doa yang kurapal, semua akar-akar harapan yang kusirami belum lagi menemukan kenyataan yang mewartakan kegembiraan. Memang, tak ada setetes airmata tuk sebuah penawaran duka. Aku terlanjur membenci yang namanya elegi datang menghampiri. Aku mengembangkan kepongahan tuk rasa sakit yang bergilir menerpa. Aku asing, aku sunyi adalah sebuah wajah asli kehidupan yang tak mungkin kupungkiri, tapi mencari aku kalah, aku menyerah adalah sebuah kehancuran takdir di kubangan nasib anak manusia. Dengan kebanggaan yang penuh, kukabarkan padamu adikku, bahwa jauh di sini, di tempat ini, aku masih membusung dada, mengusung asa bahwa silahkan saja terus membadai segala sunyi, silahkan saja terus menganga semua luka, aku takkan meluruh meski itu diperlukan jua oleh kefanaan alam.

Kau adikku, Nu, padamu kukabarkan kesunyian ini bukan semata-mata tuk pindahkan keberadaan yang sama untukmu. Tapi lebih luas dan tinggi lagi maksud semua deretan kalimatku ini. Bosan, bisa jadi mulai menggerogoti nyalang matamu dan saatnya aku tiba pada sebuah akhir yang sekali lagi tak ragu tuk katakan betapa kau harus menjadi seorang pribadi yang lebih mahir lagi memainkan peran di atas pentas sandiwara kehidupan ini. Dengan semua kekayaan batin dan kekuatan raga yang kau miliki, kau harus mampu menahbiskan sebuah kemenangan di esokmu nanti. Teruslah memintal hening gunung tuk kau bawa dan ulirkan lagi di lembah kehidupan fana nan riuh. Semampunya aku di sini menaklukan sunyi, kuyakin sepenuhnya kaupun akan lebih mudah menekuk dan mematahkan aral di setiap jejak langkahmu.

Demikian dik, kabar kesunyian yang kuntai dalam kalimat sederhana untukmu. Seusai kau membaca ini, aku memetik keyakinan jika kau akan semakin menikmati berpetualang bebas di kesunyian. Kupinta, sudilah kau kabarkan kesunyianmu itu padaku. Kutunggu, dik !

Salam hangat dari ruang sunyi,


Arther Panther Olii

Gorontalo, 15082010

0 komentar:

Posting Komentar