By :
Olan Sanseviera
Nu
Perjalanan hidup ini amat melelahkan bukan, dengan apa hendak aku ceritakan, jikalau seribu penyair seudah menjajah serta memperkosa alam dengan candu yang mereka miliki, dan itu sudah membuat nyali pena ini bukan hanya ciut tapi menggigil walau rupa puncak himalaya jauh dari mata, tapi adalah mual hati ini melebihi geramnya perut-perut gunung untuk muntahkan magmanya.
Ceritakanlah bagaimana gununggunung menitip magma pada seribu kalimat yang terukir dalam dinding ruang gigil para penyair. Sebab barangkali ada beberapa tandatanya yang terselip diantara peluh decak bibir penanya. Dari untaian garis yang rapi menyusun mekarnya kelopak hati, ada sungai yang terbentuk dari kalimat yang kau kirim sebagai penggugah rasa. Kita maknai maklumat waktu sebagai pengembaraan yang menggiring musim dihalaman yang datar. Agar angin yang mengelilingi haus rongga batin sertamerta pergi bersama kabut gelap yang mendiami pelataran sunyi. Dari sini mengalirlah warna pelangi yang diamnya begitu kita rindukan.
Terlalu banyak hendak di kisahkan tentang perjalanan ini kawan, sehingga lelah dan payah ini menjadi acuh dan jenuh menafsirkan semua tanda yang di beri alam, lantas izinkanlah aku menekur sejenak dalam belukar laku diri, bukan mengenang tapi mencoba menghitung rugi dan laba yang telah di tanggung badan, dan memang aku bukan penyair tapi penjudi, yang tak pernah bertaruh untuk sejengkal nafsu, tapi hanya nama yang di sematkan untuk hilangkan selendang angkuh itu yang tiada henti mengintai.
Menghitung berapa banyak lembar malam yang kau renangi, samudra mendekat mencurahkan renungan pada ikat malammu. Hamparan tasbih yang kau lontarkan pada langit mengisyaratkan betapa mesra bintangbintang simpuh pada belaian sungkur sujudmu. Kita memulai warna yang tertandai sebagai tonggak untuk memudarkan buramnya waktu yang mengelilingi peradaban. Ada hikmah melayari malam umpama sampan yang mengapung ditengah badai. Dan senyum adalah sebuah awal yang mesti di gapai. Senyum yang tercantum pada bibir ayah bunda yang mewakili keridhoanNya. Mari kita ikuti garis tepi cakrawala yang ufuknya adalah sampul buku sebuah tuntunan. Menuju keindahan yang hakiki.
Di hentian ini, lemah semakin patah memapah lidah untuk berkata-kata lagi, baiklah kawan, mari kita segel semua rasa pada Sang pemilik aksara, ikhlaskan hati, jernihkan fikir, agar semua musim, serta segala cuaca tak menjadi laknat, menyumpah kita di setiap hembusan nafas, selaksa doa aku tuturkan di hariban mahligai kalbu, harap satu, yakni selalu istiqomahkan hati ini dalam menyuluh api cinta padaNya.
0 komentar:
Posting Komentar